Rabu, 27 Januari 2010

Tahun Mimpi

Episode I
Jum’at, 1 Januari 2010, Jam 06.12-10.13 WIB

Pagi itu. Jam menunjukan angka 6 lewat sedikit. Mata aku masih sayu. Sesekali memaksakan membuka mata, tapi aku ingin terus larut dengan alam mimpiku. Mimpi yang tidak sampai satu episode. Aku semalaman bergadang. Tiba-tiba Telepon gengam aku berbunyi dan bergetar keras. Ngilu rasanya jari-jari aku menekan tombol di telepon genggam.

“Ade Irfan memanggil”

Nama itu muncur di layar telepom genggamku. Deringnya makin menyesakin telinga. Tiba-tiba bunyi itu lenyap. Tak berapa lama, bunyi keras kembali terhempas lewat lobang suara telepon genggam.

“Ya, hallo!! kata aku. Sambil meletakan telepon gengam ke telingan aku.
Telepon gengam hanya tersimpuh di telingan yang datar. Aku tak kuasa memegangnya lama-lama.

“Ada apa?” tanya aku. Singkat.

“Alamak, belum bangun!! Ujar Ade.

“Pagi ini kita mesti buru-buru pesan tiket kapal. Aku ke kos kau ya?” ujarnya. Nyaring.

“Iya,” jawab aku. Singkat.

Percakapan itu akhirnya lepas. Dan akupun merasa menghirup udara kebebasan. Akupun kembali ke alam mimpi. Aku lupa akan percakapan tadi. Hilang. Entah berapa lama aku hilang dari bumi ini. Aku terbang ke alam penuh ilusi.
Dan tiba-tiba.

“tuk..tuk..tuk”

Alamak!! Suara bunyi apa lagi itu? Tanya aku dalam pikiran aku.

Bergegas aku pasang sayap. Aku mau terbang kembali ke alam nyata rasanya. Aku kembali mendarat. Bola mata aku kembali terbuka lebar-lebar.

“Asalammualikum...Juf, juf!!” panggil Ade sambil mengetuk pintu.

“Alamak, batal sudah aku menjamah bidadari dalam mimpiku!!” celutuh aku.

Kaki aku berat tuk melangkah ke luar dari kamar. Suara nyaring Ade dan dentuman pintu bagai suara beduk yang membangunkan lelap tidurku terus bergema.

“Iya..iya..,” ujar aku.

Pintu terbuka lebar. Udara pagi menyambar pori-pori aku yang baru saja terbuka. Di hadapan aku, Ade berdiri dengan gagah perkasa. Roman wajahnya kelihatan segar, beda dengan aku. Muka aku kusut. Aku berdiri dengan pose kaku di hadapan Ade seperti patung duka cita.

“Aku mandi dulu,” ujar aku dengan suara berat.

“Gak usah mandi,” pinta Ade.

“Apa? Kau dengan gagahnya ke pelabuhan, sedangkan aku!!” kataku.

“Kita buru-buru. Cuci saja mukanya, tidak usah mandi,” Ade. Memaksa.

“Oke,” jawab aku.

Sepeda motor melaju cepat ke pelabuhan. Di pelabuhan aku kembali mematung. Ade bergegas ke loket. Loket mulai sesak. Lelaki dan perempuan bercampur baur. Ada bergaya kota dan bergaya kampungan. Pagi itu aku entah jadi golongan apa? Aku hanya bisa bermain mata melihat suasana di pelabuhan.

Tiba-tiba lewat perempuan Tionghoa bersama keluarganya. Rambutnya terurai panjang. Matanya sipit dengan tatapan tajam. Alunan langkahnya bagai dawai gitar. Aku menikmati irama langkahnya. Rok mini bercorak alam. Menambah imajinasi aku.

“Alamak, luar biasa! Aku. Takjub.

Gadis Tinghoa itu berlalu saja di hadapan aku. Sorotan mata aku hanya bisa mengiba. Aku mulai berduka setelah irama langkahnya menjauh dan menjauh dari pendengaran. Itu hanya hiburan sesaat.

Di kampus. Teman-teman aku sedang berkumpul. Mereka menunggu harapan dari kami di pelabuhan. Aku dan Ade bagai pahlawan di pagi buta bagi mereka. Kesaktria yang lusuh. Tak ada senjata perisai. Hanya nafas bau naga senjata kami.

“sepertinya kita kalah, tiket kapal sudah di serang balatentara musuh,” tutur Ade.

Seketika, kabar kekalahan itu aku sampaikan kepada bala tentara yang sudah siap berperang ke pulau Sabang.

“Tiket sudah habis, kita batal menjajaki ke pulau Sabang,” kata Aku, lewat telepon gengam.

Tragis!!

Kabar buruk itu membuat kawan-kawan ngilu telingan mendengarnya. Mereka mati kuku. Menghela napas panjang. Menampar semangat.

Aku tak kuasa rasanya melihat mereka nanti kebanjir air mata. Apalagi tentara cewek yang mukanya telah menempel perisai bedak berkulit cap “badak”. Aku tak ingin melihat muka cap badak mereka meleleh.

“Sudah, bilang saja tadi kita bercanda,” tutur Ade.

“Terlalu dini jika kita mengatakan kemenangan ini,” ujar aku.

Ade tertawa tercekik. Sesakali dia di bawah alam sadar melihat gitar berjalan di hadapannya.

“Alamak!! Ternyata anak ini juga tidak mau melewatkan syurga dunia yang sedang melenggok-lenggok di pelabuhan,” pikir aku dalam hati.

Ternyata, inilah imbalan untuk kami berdua setelah memburu waktu dan bergulat dengan pagi agar tidak kesiangan sampai ke pelabuhan.

Setelah itu kamipun kembali ke barak. Mereka semua menunggu kedatangan kami penuh harap. Aku dan Ade ibarat pahlawan kesiangan yang akan membawa berita kemenangan bagi teman-teman aku.

“Bagaimana? Tanya Bustami, penuh harap.

Dia adalah manusia paling awal aku kenal saat aku menjajakan telapak kaki di kampus. Pemuda kampung lulusan pasantren. Roman wajahnya gagah perkasa, banyak gadis desa sepertinya mengiba untuknya agar dijadikan sang kekasih.

Aku menegurnya waktu ia sedang menempel di dinding seperti cicak jantang yang kehilangan cicak betina.

Dia culun sekali waktu itu. Akupun sempat kegirangan melihatnya. Sehati dengan karakter aku, Cuma bedanya aku kalah gagah dengan dia. Ibarat mobil balapan, aku ketinggalan tujuh tiang listrik dengannya. Tapi kini dia sudah berubah total. Dia menajdi kesatria sesungguhnya di kampus.

Kini di kampus dia menjabat sebagai Mentri Advokasi Pemerintahan Mahasiswa. Lengkap sudahlah box mesin latar belakangnya.

1 komentar:

  1. Kok nggak nyambung ma judul sih? Mimpi apa yang mau diceritakan di tulisan ini? Kok cuma cerita si Bus doang.

    Tambahin dunk juf. Aku tunggu kelanjutannya.

    BalasHapus